Gubernur Sipit dan Benda-Benda Mati

Bandung, 9 Mei 2017

Satu hari setelah pengumpulan studio akhir, Rasanya beban mulai terangkat dari pundak ini. Aku bangun dari tidur yang sudah lama tak kurasakan, lalu melihat berita. Berita yang memberikan beban lebih berat. Bukan di pundak, namun di hati. Bukan padaku saja, namun pada setiap orang yang melihatnya. Dimanakah keadilan? Dimanakah hati nurani mereka? Hati ini hancur, hati ini kecewa dengan hari-hari depan mendatang.

Gubernur

Masa kuliah hampir usai, saya berencana kembali ke kota asal, dan ingin sekali ambil bagian dengan bapak gubernur. Bapak dan ibu gubernur yang benar-benar memikirkan rakyat. Ya, bapak ibu gubernur bermata sipit itu. Yang bekerja sama dengan para arsitek untuk membangun banyak fasilitas bagi ibu kota.

Namun semua itu tinggal harapan. Gubernur baru yang terpilih menganggap “infrastruktur itu hanya benda mati” Mungkin ia lupa di atas apa mobilnya melaju setiap hari. Ia hanya berfokus agar disukai rakyat, berfokus membangun markas bagi tim pesepakbola yang memiliki banyak massa itu.

Ya, memang benda mati, semuanya memang benda mati pak. Namun mari melihat apa yang telah dilakukan benda mati tersebut kepada kehidupan sekitarnya, coba tengok kehidupan di Kalijodo, tengoklah Jakarta yang sudah tidak sebanjir dahulu kala. Bagaimanakah nasib para arsitek di tangan gubernur yang tidak melihat signifikansi pembangunan fisik terhadap aspek sosial masyarakat. Karena sepengetahuan saya, arsitektur juga benda mati.

Benda Mati

susun-semanggi-696x392

Si Benda Mati – sumber : berkabar.id

Ya, benda mati. Benda mati yang menjadi tempat manusia berteduh di waktu malam, benda mati yang nantinya akan menjadi kantor tempat anda bekerja, benda mati yang menjadi identitas sebuah komunitas. Benda mati yang berbicara seribu bahasa. Benda mati yang mengisyaratkan bahwa gubernur sebelumnya telah melakukan pekerjaan yang baik. Benda mati yang membawa sejuta kenangan dalam kehidupan manusia, Benda mati yang menghidupkan kota di malam hari, benda mati yang telah menjadi bagian dari kehidupan manusia karena manusia hidup di dalam dimensi ruang.

Coba bayangkan tanpa adanya benda mati tersebut, perekonomian rakyat dapat mati. Kehidupan sosial dan interaksi antar manusia bisa mati, mungkin… manusia akan mati.

“Rasanya ingin apatis saja” itu yang sempat terlintas di dalam benakku. Tapi pemikiran itu ditepis oleh suara lain yang mempertanyakan apa bedanya diriku dengan manusia-manusia itu, yang hanya memikirkan kesejahteraan pribadi dan kantong sendiri?

Jangan lelah mencintai Indonesia

Begitulah ucapan Presiden Jokowi pada peringatan hari pahlawan tahun 2015 silam. Ucapan itu bergema di pikiranku, menjadi sangat relevan di hari yang menyedihkan ini. Penahanan bapak gubernur itu adalah sebuah tragedi, namun hal itu juga merupakan sebuah seruan, bahwa kita membutuhkan lebih banyak orang-orang seperti itu untuk kemajuan sebuah kota. Kita membutuhkan insan yang benar-benar tulus mengusahakan kesejahteraan kotanya. Lihatlah betapa banyak usaha yang dikerahkan demi menjatuhkan manusia sipit itu. Bayangkan bila terdapat seribu manusia seperti itu. Dapatkah mereka ditumbangkan? Mari belajar mencintai tanah air ini, mari membangun Indonesia. Biarkan pembangunan itu berbicara sendiri dan membungkam mereka yang menghina benda-benda diam ini.

Arsitektur memang benda mati, namun kehadirannya telah menjadikan manusia lebih hidup.

Leave a comment